TEPAS Darah & Silsilah Keluarga
KELUARGA : Ketika Silsilah Keluarga Dianggap Penting
http://www.kr.co.id, and posted by Cakra Prabu Krisna & tipikor99
Bila kita mengerti asal-usul, maka kita akan menjaga tindak-tanduk, sikap dan perbuatan, karena kita keturunan dari orang yang punya martabat atau bukan orang sembarangan. Jadi kalau kita tahu asal-usul, maka bisa menjadi rem bagi kita, saat akan melakukan tindakan yang tidak benar. Hal ini dikatakan, Raden Wedana Murtiwandowo, yang biasa dipanggil Romo Murti dari Tepas Darah Dalem Kraton Yogyakarta.
Tepas Darah Dalem, merupakan institusi dari Kraton Yogyakarta yang bertugas mengeluarkan serat kekancingan atau sertifikat silsilah keluarga kraton Yogyakarta. Hingga saat ini, menurut Romo Murti, dirinya sudah menerima permohonan serat kekancingan hingga keturunan ke 22 dari Panembahan Senopati.
Motivasi para pemohon Serat Kekancingan, ada yang menyebut untuk kepuasan diri, ada juga sebagai tanda dalam dirinya mengalir darah bangsawan atau keturunan raja-raja. Namun ada juga yang menyebut untuk mengurus warisan dengan mengetahui silsilah keluarga. Tujuan lainnya, supaya tidak kepaten obor atau bisa ngumpulke balung pisah keluarga.
Bagi sebagian keluarga, gelar bangsawan masih dianggap penting, tak heran bila ada orangtua yang mengurus ke Tepas Darah ketika anaknya baru lahir, supaya kelak dalam akte kelahiran sudah tertulis nama gelar bangsawannya.
Syaratnya, cukup mudah. Bila orangtua sudah memiliki serat kekancingan, maka sang anak tinggal meneruskan, cukup membawa akte kelahiran yang didukung C1 atau Kartu Keluarga dan KTP. Namun, bila tidak ada serat kekancingan dari orangtua, nenek atau pendahulunya, bisa dilakukan dengan disumpah terlebih dahulu. Sebagai saksi sumpah adalah yang punya hubungan darah, seperti ayah/ibu, saudara kandung, bila sulit bisa sepupu/misan. “Sumpah ini, bukan sembarang sumpah. Sumpahnya menggetarkan, karena harus jujur dan yakin dirinya masih keturunan darah dalem, keturunan raja-raja,” kata Romo Murti.
Dikisahkan, pernah ada kejadian yang menimpa seseorang yang terpaksa bersumpah palsu karena kepingin mendapatkan serat kekancingan. Boleh percaya boleh tidak. Sebulan sesudah melakukan sumpah, hidupnya tidak tenteram. Ibaratnya, yen nang omah kudu mulih, yen lungo pingin mulih. Sampai akhirnya, yang bersangkutan mendapatkan mimpi hingga tiga kali dan kemudian tersadar. Jangan-jangan, hidupnya tidak tenteram, karena telah melakukan sumpah palsu. “Tiga bulan kemudian, dia datang dari Surabaya dan menceritakan mimpi serta kondisi keluarga dan usahanya, setelah nyuwun ngapuro kalian ingkang nggawe urip, kemudian hidupnya kembali normal, begitu juga usahanya lancar kembali,” kata Romo Murti sambil menyebut peristiwa ini hendaknya menjadi pengingat bagi mereka yang berniat mencari serat kekancingan untuk bersikap benar.
Para pemohon serat kekancingan tidak hanya dari Yogya saja, namun juga dari Bandung, Jakarta, Purwokerto dan Kebumen, Semarang. Keturunan Cina dari Purwokerto juga banyak yang mendatangi Tepas Dalem. Di antaranya adalah dari keturunan Kolopaking III yang beristrikan keturunan Cina.
Sedang untuk pemohon serat kekancingan dari luar negeri, di antaranya dari Belanda, Belgia dan Inggris atau negara Eropa lainnya. “Kebetulan ada pemohon dari Belanda yang setelah dirunut ternyata masih keturunan HB II, kebetulan pesarean leluhurnya di Imogiri bersebelahan dengan leluhur saya, jadilah kami seperti saudara dan tiap tahun sekitar bulan Februari – Maret pasti mengunjungi pesarean Imogiri,” kata Romo Murti.
Biaya untuk mengurus serat kekancingan? Ternyata cukup murah, hanya Rp 25 ribu plus biaya materai Rp 6 ribu. Namun, untuk waktu penyelesaiannya, tidak bisa pasti. Pasalnya, harus menunggu keluangan waktu GBPH H Joyokusumo selaku Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura untuk menandatangani. Di samping itu, satu keluarga kadang mengurus sampai 10 serat kekancingan untuk kerabatnya.
Jumlah peminat serat kekancingan, ternyata terus meningkat. Sejak awal tahun 2008 ini, paling tidak sudah ada 800 pemohon yang masuk.
Sedang yang datang ke Tepas Darah Dalem juga dari berbagai kalangan, mulai artis sampai pejabat. “Kalau ditelisik, biasanya keturunan darah dalem itu, banyak lho yang njago lurah. Kalau dihitung-hitung, juga banyak pejabat masih keturunan darah dalem, seperti Presiden SBY, masih keturunan HB II dan pak Prabowo, keturunan HB II,” kata Romo Murti.
Serat kekancingan yang berupa sertifikat ditulis dalam huruf Jawa, namun untuk mempermudah membacanya, ada salinannya dalam huruf latin dalam bahasa Indonesia supaya mudah dimengerti, (Hanik Atfiati)-c
Sumber: Kedaulatan Rakyat online http://222.124.164.132/web/detail.php?sid=181901&actmenu=46_27 Oktober 2008.
Read Full Post | Make a Comment ( 7 so far )TEPAS Darah Kraton Yogyakarta
Tepas Darah Dalem Dibuka Kembali
Abdi Dalem Keraton Diberhentikan
Source: http://www.kompas.com, and posted by Cakra Prabu Krisna
Yogyakarta, Kompas – Lima abdi dalem yang sebelumnya bertugas di Tepas Darah Dalem Keraton Ngayogyakarta diberhentikan sejak 8 Januari lalu. Selanjutnya, mereka masuk dalam golongan abdi dalem miji tumpuk atau dinon-job-kan. Sebagai ganti ditunjuk empat abdi dalem baru yang melaksanakan tugas mulai Kamis (8/3). Mereka akan mendukung dua abdi dalem lainnya yang tetap dipertahankan karena dianggap konsisten dalam membawa visi.
Hal tersebut diungkapkan oleh Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Gusti Bendara Pangeran Harya (GBPH) Haji Joyokusumo, Kamis sore. Ia mengumumkan hal tersebut bersamaan dengan dibukanya kembali Tepas Darah Dalem yang selama dua bulan ditutup guna pembenahan. Tepas Darah Dalem adalah sebuah unit kerja di dalam Keraton Ngayogyakarta yang memiliki dua tugas. Pertama ialah menyimpan Buku Induk dari seluruh silsilah keturunan para Ngarso Dalem Noto sejak masa Hamengku Buwono (HB) I sampai HB X. Di tempat itu juga bisa ditelusuri silsilah sejak zaman Empu Sendok, Majapahit, Demak Bintoro, Pajang, Mataram, hingga Ngayogyakarta Hadiningrat.
Unit itu dibenahi lantaran sebelumnya tidak ada kepastian atau transparansi perihal penerbitan kekancingan, baik mengenai tarif, keuangan, dan prosedur administrasi lain. “Abdi dalem diberhentikan karena jelas-jelas bertindak tidak sesuai pranata. Mereka dimasukkan dalam abdi dalem golongan miji tumpuk, artinya non-job, status abdi dalem ada namun tidak ada pekerjaan. Tidak dapat gaji,” kata Joyokusumo, yang mengaku keputusan itu diambil setelah pihaknya mendapatkan Dawuh Dalem dari Sultan bernomor 003/DD/III-2007 tertanggal 6 Maret. Abdi dalem yang tetap dipertahankan adalah Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Harsodiningrat sebagai pengageng dan Raden Wedono (RW) Murtiwandowo sebagai pelaksana bendahara. Karena masih dalam masa konsolidasi, mereka dibantu tiga abdi dalem lain.
Selain pergantian abdi dalem yang bertugas, dilakukan pula penataan kembali Tepas Darah Dalem secara organisatoris. “Kemudian ditata kembali peraturan, mulai dari penuwunan, proses, sampai keluarnya kekancingan,” ujar Joyokusumo. Selebaran Pada kesempatan ini Joyokusumo membantah selebaran yang berisi bahwa pihak keraton mengimbau masyarakat untuk membuat sesaji guna menolak bencana. Yang benar adalah adanya pangandika Sultan yang merasa prihatin dengan musibah kerap terjadi selama ini. Sultan meminta masyarakat bersabar dan banyak berdoa menurut caranya masing-masing. (WER). Sumber: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0703/10/jogja/1034691.htm_Sabtu 10 Maret 2007.
Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )BUDAYA Lokal & Warisan Budaya
BUDAYA LOKAL Sebagai Warisan Budaya dan Upaya Pelestariannya
source: http://www.bksnt.jogja.com, and posted by Cakra Prabu Krisna & tipikor99
Masyarakat terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan berliku, tapak demi tapak, trial and error. Pada titik-titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis atau terekam sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Warisan budaya, menurut Davidson (1991:2) diartikan sebagai ‘produk atau hasil budaya fisik dari tradisi-tradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi elemen pokok dalam jatidiri suatu kelompok atau bangsa’. Jadi warisan budaya merupakan hasil budaya fisik (tangible) dan nilai budaya (intangible) dari masa lalu.
Nilai budaya dari masa lalu (intangible heritage) inilah yang berasal dari budaya-budaya lokal yang ada di Nusantara, meliputi: tradisi, cerita rakyat dan legenda, bahasa ibu, sejarah lisan, kreativitas (tari, lagu, drama pertunjukan), kemampuan beradaptasi dan keunikan masyarakat setempat (Galla, 2001: 12) Kata lokal disini tidak mengacu pada wilayah geografis, khususnya kabupaten / kota, dengan batas-batas administratif yang jelas, tetapi lebih mengacu pada wilayah budaya yang seringkali melebihi wilayah administratif dan juga tidak mempunyai garis perbatasan yang tegas dengan wilayah budaya lainnya. Kata budaya lokal juga bisa mengacu pada budaya milik penduduk asli (inlander) yang telah dipandang sebagai warisan budaya. Berhubung pelaku pemerintahan Republik Indonesia adalah bangsa sendiri, maka warisan budaya yang ada menjadi milik bersama. Ini berbeda situasinya dengan Negara Australia dan Amerika yang warisan budayanya menjadi milik penduduk asli secara eksklusif sehingga penduduk asli mempunyai hak untuk melarang setiap kegiatan pemanfaatan yang akan berdampak buruk pada warisan budaya mereka (Frankel, 1984). Sumber: http://www.bksnt-jogja.com/bpsnt2008/artikel_detail.php?id=208
Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )TARAPAN Kraton Yogyakarta
TARAPAN Di Lingkungan Kraton Yogyakarta
source: http://www.bksnt.jogja.com, and posted by Cakra Prabu Krisna & tipikor99
Tarapan adalah suatu upacara peralihan atau life-cycle seorang gadis. Upacara tersebut dilaksanakan pada saat pertama kali si gadis haid. Pelaksanaan upacara tersebut pada setiap gadis tidak sama, ada yang masih duduk di SD, SMP, maupun SMA, dan tepatnya seminggu setelah haid atau setelah selesai haid diadakan upacara tarapan.
Di dalam upacara tarapan tidak lupa diadakan sesaji untuk roh-roh halus yang berada di sekeliling kita. Menurut kepercayaan, manusia hidup melalui beberapa tahap: masa dalam kandungan, kelahiran, akil-balig, dewasa, perkawinan dan kematian. Pada tiap tahap kehidupan, manusia menghadapi bahaya, kesialan, kegagalan, musibah, lebih-lebih mengancamnya pada saat peralihan dari tahap satu ke tahap selanjuntya. Maka saat peralihan tersebut disebut juga masa krisis, pancaroba, dan untuk memperkuat diri dengan cara memohon doa restu supaya berhasil tahap hidupnya yang baru saja ditinggalkannya, dengan mengadakan suatu upacara. Dalam upacara tersebut diadakan sesaji yang ditujukan kepada roh nenek moyang, roh halus yang berada di sekeliling tempat manusia yang bersangkutan. Dengan adanya sesaji tersebut dimaksudkan agar roh-roh jahat yang tinggal di sekeliling manusia tersebut menikmati sesaji tersebut sehingga tidak mengganggu orang yang sedang menjalani saat peralihan, dan dengan demikan mereka terhindar dari bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh roh-roh jahat tersebut. Selain sesaji juga tingkah-laku dan benda-benda yang dipergunakan dalam upacara terapan mengandung makna atau lambang-lambang tertentu yang bertujuan baik bagi kehidupan gadis yang bersangkutan di kelak kemudian hari.
Dewasa ini upacara terapan mulai banyak ditinggalkan, terutama masyarakat biasa. Namun di lingkungan kraton masih melestarikan sampai sekarang, walaupun pelaksanaan upacaranya lebih disederhanakan. Biarpun disederhanakan tetapi maksud dan tujuan tetap sama yaitu memohon perlindungan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan doa restu kepada pinisepuh supaya terhindar dari bahaya yang selalu mengancam dalam perjalanan masa remaja, sehingga selamat dan sejahtera hidupnya lebih-lebih bagi seorang remaja putri.
Selengkapnya : Laporan Penelitian JARAHNITRA No. 006A/P/1966. Sumber: http://www.bksnt-jogja.com/bpsnt2008/artikel_detail.php?id=177
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )MITOS Kyai Candra Bumi
MITOS Kyai Candra Bumi Kajian Nilai Magis Relegius Bagi Masyarakat Pendukungnya
source: http://www.bksnt.jogja.com, and posted by Cakra Prabu Krisna & tipikor99
Penelitian yang berjudul Mitos Kyai Candrabumi: Kajian Nilai Magis Religius bagi masyarakat Pendukungnya, berangkat dari permasalahan adanya kepercayaan dan keyakinan masyarakat di wilayah Dusun Gupitan dan sekitarnya mengenai kekeramatan makam Kyai Candrabumi di Dusun Gupitan, wilayah Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa-Tengah, yang konon bisa memberi berkah kepada siapa pun yang mengajukan permohonan dengan niat dan maksud baik.
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah siapa sebenarnya Kyai Candrabumi tersebut dan bagaimana awal mulanya, sehingga beliau menjadi begitu dikenal di kalangan masyarakat luas, serta diyakini bisa memberi berkah demi terkabulnya suatu keinginan; bagaimana pandangan masyarakat pendukungnya terhadap keberadaan Kyai Candrabumi; dan bagaimana nilai magis dan nilai religius dari mitos Kyai Candrabumi tersebut sehingga terus mendorong minat masyarakat untuk memohon berkah kepada beliau atau bernazar atas nama beliau dalam menginginkan sesuatu.
Setelah diadakan penelitian dan wawancara kepada beberapa pihak, di sini dapat diketahui bahwa mengenai siapa sebenarnya Kyai Candrabumi tersebut sampai saat ini belum ada penjelasan secara pasti. Tentang tokoh Kyai Candrabumi tersebut di kalangan masyarakat setempat masih terjadi kesimpang-siuran pendapat. Ada sebagian pihak yang mengatakan bahwa Kyai Candrabumi tersebut semula adalah pengikut Pangeran Diponegoro. Pada saat Pangeran Diponegoro tertangkap Belanda di Magelang, dia melarikan diri ke pedalaman wilayah Magelang, hingga akhirnya tiba di suatu tempat yang tersembunyi (nggupit). Di tempat tersebut dia menyepi hingga mencapai muksa. Sebagian lain berpendapat bahwa Kyai Candrabumi adalah seorang putra raja Yogyakarta yang bernama Gusti Amat. Oleh karena suatu sebab, beliau lolos dari istana, lalu mengembara ke wilayah pedalaman hingga sampai di suatu tempat yang tersembunyi (nggupit), kemudian beliau menyepi di tempat tersebut hingga mencapai muksa.
Mengenai hal itu, setelah dikonfirmasikan ke pihak Kraton Yogyakarta, didapatkan informasi bahwa untuk nama Kyai Candrabumi, di Kraton Yogyakarta tidak dikenal. Namun, untuk nama Gusti Amat, menurut penjelasan dari pihak Tepas Darah Dalem Kraton Yogyakarta, nama tersebut adalah sebutan lain dari Gusti Pangeran Harya Suryaningalogo, yang merupakan satu-satunya putra Sri Sultan HB V yang lahir dari permaisuri. Akan tetapi, beliau lahir setelah ayahandanya wafat sehingga tidak bisa diangkat menjadi HB VI karena sudah terlanjur mengangat adik HB V yang bernama Gusti Raden Mas Mustojo sebagai HB VI. Gusti Pangeran Harya Suryaningalogo juga tidak diangkat menjadi HB VII karena HB VI mempunyai putra yang lahir dari permaisuri sehingga yang diangkat menjadi HB VII adalah putra HB VI sendiri. Sumber: http://www.bksnt-jogja.com/bpsnt2008/artikel_detail.php?id=73
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )Selamat DATANG!
Selamat Berkunjung di Blog Saya: https://cakrakrisna.wordpress.com/ – yang merupakan Catatan Pribadi dan Aneka Informasi tentang Budaya Jawa, Kraton Mataram Yogyakarta & Surakarta, bermula dari kelanjutan pasca Kraton Majapahit yang bersumber dari aneka referensi situs (website) dan weblog yang relevan dengan misi dan visi Blog ini ”Nguri-uri kabudayan Jawi” dan ”Hamemayu Hayuning Bawono” sebagai bagian dari proses reflektif mengenal Jatidiri Bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang beriman berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang memancar dalam sila pertama s/d sila kelima Pancasila secara bulat – terutama dalam menjaga jiwa kepemimpinan nan satria.
Nama Saya: Albert Usada, S.H., M.H. (45 tahun) – kerabat Trah RT. Nitinagara II Kraton Yogyakarta. Sekarang, berkarya profesi sebagai Hakim pada Pengadilan Negeri Wates Kulon Progo DIY. Sebagai anggota masyarakat, Saya adalah suka memahami dan menghayati Budaya Jawa dan Budaya Lokal, serta bertindak global – dengan selalu mengikuti perkembangan teknologi informasi terkini.
Email: albertususada@yahoo.com atau usadaku@gmail.com
Blog ini mempunyai Link akrab dengan http://tipikor99.wordpress.com/ – Selamat berselancar … dan memetik positif hikmat kebijaksanaan … Mugi Kinaryo, antuk Lejaring Jiwo.