Mataram Yogyakarta
TEPAS Darah Kraton Yogyakarta
Tepas Darah Dalem Dibuka Kembali
Abdi Dalem Keraton Diberhentikan
Source: http://www.kompas.com, and posted by Cakra Prabu Krisna
Yogyakarta, Kompas – Lima abdi dalem yang sebelumnya bertugas di Tepas Darah Dalem Keraton Ngayogyakarta diberhentikan sejak 8 Januari lalu. Selanjutnya, mereka masuk dalam golongan abdi dalem miji tumpuk atau dinon-job-kan. Sebagai ganti ditunjuk empat abdi dalem baru yang melaksanakan tugas mulai Kamis (8/3). Mereka akan mendukung dua abdi dalem lainnya yang tetap dipertahankan karena dianggap konsisten dalam membawa visi.
Hal tersebut diungkapkan oleh Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Gusti Bendara Pangeran Harya (GBPH) Haji Joyokusumo, Kamis sore. Ia mengumumkan hal tersebut bersamaan dengan dibukanya kembali Tepas Darah Dalem yang selama dua bulan ditutup guna pembenahan. Tepas Darah Dalem adalah sebuah unit kerja di dalam Keraton Ngayogyakarta yang memiliki dua tugas. Pertama ialah menyimpan Buku Induk dari seluruh silsilah keturunan para Ngarso Dalem Noto sejak masa Hamengku Buwono (HB) I sampai HB X. Di tempat itu juga bisa ditelusuri silsilah sejak zaman Empu Sendok, Majapahit, Demak Bintoro, Pajang, Mataram, hingga Ngayogyakarta Hadiningrat.
Unit itu dibenahi lantaran sebelumnya tidak ada kepastian atau transparansi perihal penerbitan kekancingan, baik mengenai tarif, keuangan, dan prosedur administrasi lain. “Abdi dalem diberhentikan karena jelas-jelas bertindak tidak sesuai pranata. Mereka dimasukkan dalam abdi dalem golongan miji tumpuk, artinya non-job, status abdi dalem ada namun tidak ada pekerjaan. Tidak dapat gaji,” kata Joyokusumo, yang mengaku keputusan itu diambil setelah pihaknya mendapatkan Dawuh Dalem dari Sultan bernomor 003/DD/III-2007 tertanggal 6 Maret. Abdi dalem yang tetap dipertahankan adalah Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Harsodiningrat sebagai pengageng dan Raden Wedono (RW) Murtiwandowo sebagai pelaksana bendahara. Karena masih dalam masa konsolidasi, mereka dibantu tiga abdi dalem lain.
Selain pergantian abdi dalem yang bertugas, dilakukan pula penataan kembali Tepas Darah Dalem secara organisatoris. “Kemudian ditata kembali peraturan, mulai dari penuwunan, proses, sampai keluarnya kekancingan,” ujar Joyokusumo. Selebaran Pada kesempatan ini Joyokusumo membantah selebaran yang berisi bahwa pihak keraton mengimbau masyarakat untuk membuat sesaji guna menolak bencana. Yang benar adalah adanya pangandika Sultan yang merasa prihatin dengan musibah kerap terjadi selama ini. Sultan meminta masyarakat bersabar dan banyak berdoa menurut caranya masing-masing. (WER). Sumber: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0703/10/jogja/1034691.htm_Sabtu 10 Maret 2007.
Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )BUDAYA Lokal & Warisan Budaya
BUDAYA LOKAL Sebagai Warisan Budaya dan Upaya Pelestariannya
source: http://www.bksnt.jogja.com, and posted by Cakra Prabu Krisna & tipikor99
Masyarakat terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan berliku, tapak demi tapak, trial and error. Pada titik-titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis atau terekam sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Warisan budaya, menurut Davidson (1991:2) diartikan sebagai ‘produk atau hasil budaya fisik dari tradisi-tradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi elemen pokok dalam jatidiri suatu kelompok atau bangsa’. Jadi warisan budaya merupakan hasil budaya fisik (tangible) dan nilai budaya (intangible) dari masa lalu.
Nilai budaya dari masa lalu (intangible heritage) inilah yang berasal dari budaya-budaya lokal yang ada di Nusantara, meliputi: tradisi, cerita rakyat dan legenda, bahasa ibu, sejarah lisan, kreativitas (tari, lagu, drama pertunjukan), kemampuan beradaptasi dan keunikan masyarakat setempat (Galla, 2001: 12) Kata lokal disini tidak mengacu pada wilayah geografis, khususnya kabupaten / kota, dengan batas-batas administratif yang jelas, tetapi lebih mengacu pada wilayah budaya yang seringkali melebihi wilayah administratif dan juga tidak mempunyai garis perbatasan yang tegas dengan wilayah budaya lainnya. Kata budaya lokal juga bisa mengacu pada budaya milik penduduk asli (inlander) yang telah dipandang sebagai warisan budaya. Berhubung pelaku pemerintahan Republik Indonesia adalah bangsa sendiri, maka warisan budaya yang ada menjadi milik bersama. Ini berbeda situasinya dengan Negara Australia dan Amerika yang warisan budayanya menjadi milik penduduk asli secara eksklusif sehingga penduduk asli mempunyai hak untuk melarang setiap kegiatan pemanfaatan yang akan berdampak buruk pada warisan budaya mereka (Frankel, 1984). Sumber: http://www.bksnt-jogja.com/bpsnt2008/artikel_detail.php?id=208
Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )TARAPAN Kraton Yogyakarta
TARAPAN Di Lingkungan Kraton Yogyakarta
source: http://www.bksnt.jogja.com, and posted by Cakra Prabu Krisna & tipikor99
Tarapan adalah suatu upacara peralihan atau life-cycle seorang gadis. Upacara tersebut dilaksanakan pada saat pertama kali si gadis haid. Pelaksanaan upacara tersebut pada setiap gadis tidak sama, ada yang masih duduk di SD, SMP, maupun SMA, dan tepatnya seminggu setelah haid atau setelah selesai haid diadakan upacara tarapan.
Di dalam upacara tarapan tidak lupa diadakan sesaji untuk roh-roh halus yang berada di sekeliling kita. Menurut kepercayaan, manusia hidup melalui beberapa tahap: masa dalam kandungan, kelahiran, akil-balig, dewasa, perkawinan dan kematian. Pada tiap tahap kehidupan, manusia menghadapi bahaya, kesialan, kegagalan, musibah, lebih-lebih mengancamnya pada saat peralihan dari tahap satu ke tahap selanjuntya. Maka saat peralihan tersebut disebut juga masa krisis, pancaroba, dan untuk memperkuat diri dengan cara memohon doa restu supaya berhasil tahap hidupnya yang baru saja ditinggalkannya, dengan mengadakan suatu upacara. Dalam upacara tersebut diadakan sesaji yang ditujukan kepada roh nenek moyang, roh halus yang berada di sekeliling tempat manusia yang bersangkutan. Dengan adanya sesaji tersebut dimaksudkan agar roh-roh jahat yang tinggal di sekeliling manusia tersebut menikmati sesaji tersebut sehingga tidak mengganggu orang yang sedang menjalani saat peralihan, dan dengan demikan mereka terhindar dari bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh roh-roh jahat tersebut. Selain sesaji juga tingkah-laku dan benda-benda yang dipergunakan dalam upacara terapan mengandung makna atau lambang-lambang tertentu yang bertujuan baik bagi kehidupan gadis yang bersangkutan di kelak kemudian hari.
Dewasa ini upacara terapan mulai banyak ditinggalkan, terutama masyarakat biasa. Namun di lingkungan kraton masih melestarikan sampai sekarang, walaupun pelaksanaan upacaranya lebih disederhanakan. Biarpun disederhanakan tetapi maksud dan tujuan tetap sama yaitu memohon perlindungan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan doa restu kepada pinisepuh supaya terhindar dari bahaya yang selalu mengancam dalam perjalanan masa remaja, sehingga selamat dan sejahtera hidupnya lebih-lebih bagi seorang remaja putri.
Selengkapnya : Laporan Penelitian JARAHNITRA No. 006A/P/1966. Sumber: http://www.bksnt-jogja.com/bpsnt2008/artikel_detail.php?id=177
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )